LAPORAN PENDAHULUAN : REUMATIK ATAU RHEUMATOID

Rheumatik atau rheumatoid arthritis adalah penyakit yang termasuk golongan penyakit tulang dan sendi yang berciri rasa nyeri, bengkak, kekakuan, dan terganggunya fungsi alat-alat penggerak tubuh, yaitu sendi dan tulang. Selain rheumatik, ada juga penyakit tulang dan sendi lain yang hampir mirip gejalanya dan sering kali saling tertukar pengertiannya. Untuk itu, di awal makalah ini, akan diperjelas kembali perbedaan beberapa gangguan tulang dan sendi tersebut. Hal ini penting karena perbedaan tersebut akan mempengaruhi penatalaksanaannya.


Penyakit sendi dikenal dengan istilah arthritis, dari kata “arth” = sendi, dan “itis”= radang/inflamasi. Arthritis Society (2002) mengelompokkan penyakit radang sendi ini ke dalam berbagai jenis penyakit berdasarkan penyebab dan patogenesisnya, namun yang paling sering dijumpai di masyarakat dan akan diliput dalam makalah ini adalah rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan gout.
Diantara tulang dengan tulang, terdapat ruang sendi yang memungkinkan tulang untuk bergerak. Daerah sendi antara dua tulang dilindungi oleh semacam kapsula yang fleksibel, yang cukup kuat untuk melindungi tulang dari kemungkinan dislokasi (bergeser). Di bagian dalam kapsula ini, yang disebut sinovium, diproduksi suatu cairan sinovial yang akan melubrikasi sendi. Pada kebanyakan bentuk radang sendi, sinovium ini mengalami inflamasi dan menebal, memproduksi ekstra cairan yang mengandung banyak sel-sel inflamasi. Sel-sel inflamasi ini kemudian dapat merusak tulang rawan dan tulang yang ada di sekitarnya.
Penyakit radang sendi sangat bermacam-macam, tetapi yang banyak dijumpai pada masyarakat adalah rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan gout.
Rheumatoid arthritis atau kita kenal sebagai penyakit rematik adalah gangguan sendi yang dicirikan adanya inflamasi dan merupakan penyakit auto imunitas. Sistem imun di dalam tubuhnya gagal membedakan jaringan sendiri dengan benda asing, sehingga sistem imunnya akan menyerang jaringan tubuh sendiri, khususnya jaringan sinovial dan jaringan ikat. Penyakit ini bersifat menahun dan sistemik, dan seringkali progresif. Sebagian besar pasien dengan rematik artritis ini tubuhnya membentuk antibodi yang disebut rheumatoid factor (faktor rematoid). Faktor ini menentukan agresivitas/keganasan dari penyakit.
Osteoarthritis adalah gangguan sendi juga, tetapi bukan gangguan imun. Penyebabnya bisa bermacam-macam, seringkali bersifat idiopatik, dengan ciri terjadinya degenerasi tulang rawan. Pada penyakit ini terjadi ketidak-seimbangan antara pembentukan dan perusakan/degradasi tulang rawan. Penyakit ini tidak bersifat sistemik seperti rematik artritis, umumnya terjadi pada usia di atas 45 tahun. Sifat inflamasinya umumnya lebih ringan dan lebih terlokalisir dibandingkan rematik artritis. Sendi yang terpengaruhi umumnya yang sering harus mengampu beban berat.
Gout atau encok adalah gangguan sendi yang disebabkan oleh gangguan pada metabolisme purin sehingga berakibat terganggunya keseimbangan antara sintesis zat asam urat dengan ekskresinya melalui ginjal. Pada pasien gout seringkali dijumpai bahwa kadar asam urat dalam darahnya terlampau tinggi (hiperurikemia). Gangguan yang dapat terjadi dengan kadar asam urat yang tinggi antara lain adalah nyeri sendi (artritis), batu ginjal akibat terbentuknya batu asam urat (nefrolitiasis), dan gangguan ginjal (nefropati).

II.   Tatalaksana terapi
Karena berbeda secara patofisiologinya, maka terapi terhadap ketiga gangguan sendi ini juga berbeda. Untuk itu akan dipaparkan tatalaksana untuk masing-masing penyakit sendi.
 1. Terapi farmakologi untuk artritis rematik (AR)
Tujuan terapi rematik utamanya adalah untuk meningkatkan atau memelihara status fungsionalnya sehingga meningkat kualitas hidup pasien. Pengatasan rematik harus merupakan pendekatan multifaset yang melibatkan terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Terapi nonfarmakologi antara lain meliputi: istirahat, fisioterapi, penggunaan alat bantu, penurunan berat badan, atau pembedahan. Sedangkan terapi farmakologi adalah terapi menggunakan obat-obatan.
Obat-obat untuk rematik dikenal dengan istilah DMARD (disease-modifying antirheumatic drug). Obat-obat yang biasa digunakan dalam penanganan rematik adalah:
1.      NSAIDs (Non-steroid antiinflammatory drugs)
2.      Metotreksat
3.      Leflunomid
4.      Hidroksiklorokuin
5.      Sulfazalazin
6.      Kortikosteroid
7.      Agen biologis : Etanercept, Infliximab, Adalimumab, Anakinra
8.      Lain-lain : Garam emas, azathioprine, d-penisilamin, siklosporin, siklofosfamid, dan minoksilin
Pada bagian ini akan dipaparkan keterangan singkat tentang masing-masing obat.
1. NSAIDs
Obat-obat NSAID umumnya dipakai sebagai terapi komplementer, jarang digunakan secara tunggal/monoterapi pada AR. Obat ini bekerja menghambat sintesis prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi dengan menekan kerja enzim siklooksigenase. Penghambatan ini tidak selektif sehingga obat-obat ini menyebabkan efek samping gastrointestinal. Golongan penghambat selektif siklooksigenase-2 (COX-2) memiliki efikasi yang sebanding dengan NSAIDs tetapi efek samping gastrointerstinalnya lebih ringan.
2. Methotrexate (MTX)
Saat ini MTX dianggap sebagai obat DMARD pilihan oleh banyak rematologis untuk mengatasi AR. MTX bekerja dengan menghambat produksi sitokin (cytokines), menghambat biosintesis purin, dan mungkin menstimulasi pelepasan adenosin, yang semuanya dapat mengarah pada kerja antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang agak cepat, hasil dapat dilihat kurang lebih 2-3 minggu setelah dimulainya terapi. Obat bisa diberikan secara i.m., s.c., atau p.o.
Efek samping atau gejala toksisitas MTX adalah gangguan gastrointestinal, hematologi, pulmonar, dan hepatik. Test terhadap fungsi liver perlu dilakukan untuk memantau penggunaan obat ini. MTX dikontraindikasikan untuk kehamilan dan menyusui, gangguan liver kronis, defisiensi imun, leukopenia, trombositopenia, gangguan darah, serta pasien yang kreatin klirens-nya kurang dari 40 mL/min. Karena MTX adalah antagonis asam folat, maka ia juga dapat menyebabkan defisiensi asam folat. Untuk itu suplementasi asam folat diperlukan untuk mengurangi efek samping ini (Schuna, 2005).
3. Leflunomid
Leflunomid memiliki efikasi yang mirip dengan MTX dalam mengatasi AR. Ia bekerja dengan menghambat sintesis pirimidin, sehingga dapat menurunkan proliferasi limfosit dan menghambat inflamasi. Obat ini diberikan dengan loading dose 100 mg sehari untuk 3 hari, dan dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 20 mg sehari. Seperti MTX, obat ini cukup toksis terhadap hati, sehingga dikontraindikasikan bagi pasien yang punya riwayat gangguan liver. Selain itu obat ini juga teratogenik, sehingga tidak boleh digunakan pada wanita hamil atau yang merencanakan hamil. Bedanya, leflunomid jarang menyebabkan gangguan darah, sehingga memungkinakan untuk dipakai pada pasien dengan gangguan darah.
4. Hidroksklorokuin
Obat ini dikenal sebagai antimalaria, tetapi juga dapat menekan sistem imun, sehingga seringkali digunakan pada penyakit gangguan imun. Kelebihan obat ini adalah ia tidak toksis terhadap hepar atau renal. Toksisitasnya bersifat jangka pendek, meliputi: gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare.
5. Sulfasalazin
Sulfasalazin adalah suatu prodrug yang akan diuraikan oleh bakteria di usus menjadi sulfapiridin dan asam 5-aminosalisilat. Sulfapiridin inilah yang diduga bertanggung-jawab terhadap aktivitas antirematiknya. Penggunaan sulfasalazin agak terbatas karena menyebabkan beberapa efek samping antara lain efek gastrointestinal (mual, muntah, diare dan anoreksia), alergi, leukopenia, alopesia, dan peningkatan enzim hepatik. Obat ini berinteraksi dengan antibiotik yang membunuh bakteri kolon, dapat mengikat suplemen besi, dan meningkatkan efek warfarin.
6.  Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan pada AR karena efek antiinflamasi dan imunosupresifnya. Obat ini bisa menghambat sintesis prostagandin dan leukotrien, menghambat reaksi radikal superoksida netrofil dan monosit,  mencegah migrasi sel monosit, limfosit, dan monosit, sehingga dapat mencegah respon imun.
7. Agen biologis
Golongan obat ini termasuk obat baru hasil rekayasa genetik, seperti : etenercept, infliximab, adalimumab, dan anakinra. Obat ini mungkin efektif, jika obat lain tidak berhasil. Harganya masih mahal, dan belum ada di Indonesia. Tidak ada resiko toksisitas yang membutuhkan pemantauan lab, tetapi ada laporan bahwa obat ini sedikit meningkatkan resiko infeksi. Untuk itu, pasien yang sedang infeksi sebaiknya tidak menggunakan obat ini. Berikut ini adalah keterangan singkat tentang agen biologis tersebut.
a.      Etanercept adalah suatu protein yang terdiri dari reseptor TNF (tumor necrosis factor) yang berikatan dengan antibodi IgG. Obat ini akan mengikat TNF sehingga secara biologis menjadi inaktif dan tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Seperti diketahui, TNF adalah salah satu sitokin yang terlibat dalam patogenesis AR.
b.     Infliximab merupakan anti TNF, ia juga akan mengikat TNF sehingga tidak bis aberikatan dengan reseptornya.
c.      Adalimumab juga merupakan antibodi terhadap TNF.
d.     Anakinra adalah antagonsi reseptor inteleukin-1 (IL-1). Diketahui bahwa IL-1 sangat terlibat dalam patogenesis AR. Obat ini akan mengikat reseptor IL-1, sehingga mencegah IL-1 untuk berikatan dengan reseptornya.
2. Terapi non- farmakologi
  • Terapi nonfarmakologi untuk RA meliputi : diet, terapi fisik, dan pembedahan. Pengaturan diet diperlukan untuk mencegah kelebihan berat badan yang seringkali menjadi penyebab memburuknya nyeri sendi, terutama pada sendi-sendi yang harus menopang berat badan. Terapi fisik bisa dilakukan dengan berendam pada air hangat, atau alat penghangat lain, untuk mengurangi nyeri dan kaku pada sendi. Selain itu juga dapat dilakukan program-program latihan untuk melatih fungsi persendian. Jika terapi konservatif tidak efektif, maka pembedahan bisa direkomendasikan. Kompres es. Terapi ini dimaksudkan untuk menurunkan ambang nyeri dan menurunkan fungsi enzim.
  • Olahraga ringan, misal bisa dengan jalan kaki. Hal ini agar berat badan tetap ideal, membakar kalori, menguatkan otot dan membangun tulang yang kuat tanpa mengganggu persendian yang sakit. Selain itu, hindari olahraga yang membebani lutut, misalnya bulutangkis, tennis, beladiri, jogging, dan lain-lain.
  • Jus seledri, kubis atau wortel. Ada juga herbal untuk rematik, misalnya jahe, kunyit, daun lidah buaya, rosemary, aromaterapi atau minyak juniper.








B. Stomatitis 

I.    Pengertian
Sariawan adalah pembengkakan atau peradangan yang terjadi di lapisan mukosa mulut. ariawan dalam medis lebih dikenal dengan istilah stomatitis, atau aphthous stomatitis. Aphthous berasal dari bahasa yunani, yaitu aphta yang berarti ulceration atau luka. Istilah aphthous ini dinyatakan oleh Hippocrates pada tahun 460-370 SM. Stomatitis yang terjadi berulang pada rongga mulut disebut Reccurent Apthous Stomatitis(RAS). Sariawan memang bukan penyakit yang serius atau bahkan mengancam jiwa, tetapi kondisi ini sangat mengganggu karena membuat susah untuk makan dan berbicara.
Manifestasi klinis dari RAS adalah ulser tunggal atau multipel, dangkal, bulat, lonjong dan sakit. Sariawan bisa disebabkan oleh beberapa factor: seperti stres, luka di mulut, infeksi pada mulut, mulut kering, perubahan imunitas, alergi makanan, siklus haid, atau minuman yang asam. Faktor pencetus beberapa borok aphthous muncul pada subyek dengan predisposisi genetik. Mekanisme autoimun atau hipersensitivitas kemungkinan juga dapat berpengaruh terhadap kejadian sariawan. Namun terkadang sariawan juga merupakan tanda dari adanya suatu penyakit sistemik, oleh karena itu penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat untuk mengetahui penyebab penyakitnya, dan menentukan terapi yang sesuai.
KLASIFIKASI STOMATITIS
1.    Stomatitis apthous Reccurent(RAS)
Stomatitis yang sifatnya berulang. Reccurent Apthous Stomatitis diklasifikasikan berdasarkan karakteristik klinis, yaitu: ulser minor, ulser mayor, dan ulser herpetiform.
a.   Recurrent apthous stomatitis minor
RAS minor ditandai dengan ulser berbentuk bulat atau oval dengan diameter yang kurang dari 5 mm serta pada bagian tepinya tampak kemerahan. Ulserasi dapat sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas. Pasien dengan ulser minor mengalami ulserasi yang berulang dan lesi individual dapat terjadi dalam jangka waktu pendek dibandingkan dengan tiga jenis yang lain. Lesi ini didahului dengan rasa terbakar, gatal dan rasa pedih dan adanya pertumbuhan makula eritematus.

b.   Recurrent Apthous Stomatitis Major
Rekuren apthous stomatitis major diderita kira-kira 10% dari penderita RAS dan lebih parah dari bentuk minor. Secara umum, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm dan masa sembuh selama empat minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut. Dasar ulser lebih dalam, melebihi 0,5 cm dan hanya terbatas pada jaringan lunak tidak sampai ke tulang. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun banyak bukti yang berhubungan dengan defek imun. Tanda adanya ulser seringkali dilihat pada penderita bentuk mayor. Jaringan parut terbentuk karena keparahan dan lamanya lesi yang terjadi.
c.   Herpetiformis apthous stomatitis
Herpertiformis apthous stomatitis menunjukkan lesi yang besar dan frekuensi terjadinya berulang. Pada beberapa individu, lesi berbentuk kecil dan berdiameter rata-rata 1-3 mm. Gambaran dari ulser ini adalah erosi-erosi kelabu putih yang jumlahnya banyak, berukuran kecil yang dapat bergabung. Pada awalnya ulkus-ulkus tersebut berdiameter 1-2 mm dan timbul berkelompok terdiri atas 10-100. Mukosa disekitar ulkus tampak kemerahan.
2. Oral thrush
Oral thrush merupakan sariawan yang disebabkan jamur Candida Albican, biasanya banyak dijumpai di lidah. Pada keadaan normal, jamur memang terdapat di dalam mulut. Namun, saat daya tahan tubuh anak menurun, ditambah penggunaan obat antibioka yang berlangsung lama atau melebihi jangka waktu pemakaian, jamur Candida Albican akan tumbuh lebih banyak lagi.
3. Stomatitis Herpetik
Stomatitis Herpetik disebabkan virus herpes simplek dan beralokasi di bagian belakang tenggorokan. Ulcer di tenggorokan biasanya terjadi jika ada virus yang mewabah dan pada saat itu daya tahan tubuh sedang menurun sehingga sistem imun tidak dapat mengatasi virus yang masuk sehingga terjadilah ulser.
Pencegahan sariawan:
1.     Minimal 2 kali sehari membersihkan mulut dengan sikat gigi, dan benang gigi.
2.     Jika menggunakan gigi palsu, harus dirawat dengan baik, dan pastikan memiliki kesesuaian yang baik ketika digunakan
3.     Kumur dengan air garam (1 sendok teh garam, dalam segelas air hangat)
4.     Antibakteri mouth wash dapat direkomendasikan dalam keadaan tertentu
5.     Hindari obat kumur yang mengandung alcohol, karena dapat menyebabkan mulut kering
6.     Menanggulangi mulut kering dengan minum yang banyak, potongan nanas, permen karet bebas gula untuk menstimulasi keluarnya saliva.
Pengobatan stomatitis
Terapi pada sariawan merupakan terapi simptomatik, tidak ada pengobatan yang efektif terhadap sariawan. Penatalaksanaan Recurrent Aphthous Stomatitis ditujukan untuk mengurangi rasa sakit, atau mencegah timbulnya lesi baru.
Lini pertama (stomatitis ringan):
  • Antibakteri mouthwash, contoh: klorheksidin 0,2% qds
Lini kedua (stomatitis ringan-sedang)
  • Antibakteri mouthwash atau anestesi local mouthwash, contoh: benzydamine 0,15%, lignocain 1% gel dioleskan pada area yang sakit
  • Berkumur dengan suspense sukralfat 1g/5ml, jangan ditelan
Lini Ketiga (stomatitis sedang-berat)
  • Sama dengan terapi pada lini kedua
  • Analgetik oral, penggunaan secara subcutan, dan intravena dapat diberikan jika diperlukan
  • Jika terdiagnosis adanya infeksi, berikan antibiotic pada infeksi bakteri, antivirus pada infeksi virus, dan antifungi pada infeksi jamur
  • Pertimbangkan periksa ke dokter, atau ahli kesehatan gigi dan mulut untuk mendapatkan nasihat


Terapi non farmakologi Konsumsi buah yang mengandung vitamin c, vitamin B12 1000 mcg, banyak minum, hindari makan makanan yang panas dan diikuti dengan minum minuman dingin, OR yang rutin dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh, sehingga menurunkan resiko terjadinya sariawan yang disebabkan penurunan system imun.


Daftar Pustaka

1.     Lawler W, Ahmed A, Hume WJ, 2002, Buku pintar patologi untuk kedokteran gigi, Penerbit buku kedokteran, Jakarta, 81.
2.     Lewis MAO, Lamey PJ, 1998, Tinjauan klinis penyakit mulut, Widya Medika, Jakarta, 48-9.
3.     Greenberg MS, Glick M, 2003, Burket’s oral medicine diagnosis and treatment ed 10¬th, BC Decker Inc, Philedelpia, 63-4.
4.     Eversole LR, 2002, Clinical outline of oral pathology: diagnosis and treatment. 3rd ed, BC Decker Inc, Hamilton Ontario, 64-66.
5.     Marwati E, Chahya R, 2004, Penatalaksanaan penderita stomatitis aftosa rekuren, Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi; 2004 19(55) : 29
6.     Dikken, clare., Wildman, K, 2011, Guidelines for the prevention and treatment of stomatitis and mucotitis in adult, NHS Sussex cancer network.
7.     Femiano, Felice., Lanza, Alessandro., Buonaiuto, Curzio.,et all, 2007, Guidelines for diagnosis and management of Aphthous Stomatitis, Pediatr Infect Dis J 2007;26: 728 –732.








 DOWNLOAD FILE :









Post a Comment

Previous Post Next Post