Laporan Pendahuluan : Epilepsi

Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000). Epilepsi, atau yang dikenal juga secara awam sebagai sakit ayan, adalah penyakit kejang berulang yang disebabkan oleh gangguan kelistrikan pada susunan saraf otak. Berdasarkan definisi tersebut, bila kejang hanya terjadi satu kali maka belum dapat disebut sebagai epilepsi. Kejang sendiri adalah kumpulan tanda dan gejala yang disebabkan oleh terjadinya gangguan kelistrikan pada susunan saraf pada otak.
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik (Doenges, 2000). Epilepsi adalah suatu gangguan pada sistem syaraf otak manusia karena terjadinya aktivitas yang berlbihan dari sekelompok sel neuron pada otak sehingga menyebabkan berbagai reaksi pada tubuh manusia muai dari bengong sesaat, kesemutan, gangguan kesadaran, kejang-kejang dan atau kontraksi otot.
Kesimpulan: gangguan kronik otak yang disebabkan lepasnya muatan listrikabnormal di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik.
2.        Etiologi
Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang dapat timbul karena penyakit. Secara umum serangan epilepsi dapat timbul jika terjadi pelepasan aktifitas energi yang berlebihan   dan   mendadak   dalam   otak,   sehingga   mengganggu   kerja   otak.   Otak   akan   segera mengkoreksinya dan kembali normal dalam beberapa saat.
a.       Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
b.      Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
§  Faktor     herediter    , seperti     neurofibromatosis, hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
§  Faktor genetik seperti pada kejang demam
§  Kelainan congenital otak seperti atropi, agenesis korpus kolosum
§  Gangguan metabolic seperti hipoglikemia, hipoklasemia, hiponatremia, hipernatremia
§  Infeksi seperti radang yang disebabkan virus atau bakteri pada otak dan selaputnya seperti toksoplasmosis, meningitis
§  Trauma seperti contusio cerebri, hematoma sub arachnoid, hematoma subdural
§  Neoplasma otak dan selaputnya
§  Kelainan pembuluh darah, malformasi dan penyakit kolagen
§  Keracunan oleh timbal, kamper/kapur barus, fenotiazin
§  Lain-lain seperti penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi cerebral
§  Faktor precipitasi atau faktor pencetus atau yang mempermudah terjadinya gejala
§  Faktor sensoris seperti cahaya yang berkedip-kedip (fotosensitif), bunyi-bunyi yang mengejutkan, air, dan lain-lain.
§  Faktor sistemis seperti demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu (fenotiazin, klorpropamid, barbiturat, valium), perubahan hormonal (hipoglikemia), kelelahan fisik.
§  Faktor mental seperti stress, gangguan emosional, kurang tidur.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mengakibatkan kejang epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron di serebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mengakibatkan kejang epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan.

3.        Manifestasi Klinis
a.       Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan.
b.      Kelainan gambaran EEG.
c.       Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen.
d.      Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya).
e.       Napas terlihat sesak dan jantung berdebar.
f.        Raut muka pucat dan badannya berkeringat.
g.      Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal.
h.      Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat.
i.        Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba.
j.        Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang.
k.      Gigi geliginya terkancing.
l.        Bola matanya berputar- putar.
m.    Terkadang keluar busa dari mulut dan diikuti dengan buang air kecil.
n.      klien sadar kembali dengan lesu, nyeri otot dan sakit kepala.


4.        Patofisiologi
Konduksi atau hantaran merupakan proses aktif yang bekerja sendiri dan memerlukan penggunaan energi oleh saraf. Konduksi impuls saraf walaupun cepat, namun berlangsung lebih lambat daripada listrik, karena jaringan saraf merupakan konduktor pasif yang relatif sangat buruk. Saraf memerlukan potensial beberapa volt  untuk dapat  menghasilkan impuls,  sebab sel  saraf mempunyai ambang yang  rendah terhadap perangsangan (impuls). Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a.       Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
b.      Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
c.       Peningkatan suhu tubuh misalnya pada kasus kejang demam dapat mengakibatkan peningkatan metabolisme basal 10-15% sehingga kebutuhan akan oksigen dalam metabolisme tersebut pun akan ikut meningkat hingga 20%. Hal tersebut yang menyebabkan terganggunya keseimbangan membran sel neuron. Seperti yang kita ketahui bahwa membrane sel neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
d.      Defisiensi vitamin B6, konsumsi MSG berlebih, dan adanya cedera kepala dapat mengakibatkan sinkronisasi dalam aliran listrik dalam otak. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
o   Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
o   Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
e.       Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
f.        Hipoglikemia merupakan salah satu penyakit akibat gangguan metabolisme yang dapat mengakibatkan epilepsi. Kekurangan glukosa dapat mempengaruhi suplai ke otak khususnya bagi metabolisme sel glia pada otak. Epilepsi terjadi akibat adanya kerusakan membran pada sel glia otak. Sel glia merupakan bagian dari sel otak yang multi fungsi. Salah satu fungsi penting dari sel glia bila dikaitkan dengan penyakit epilepsi ini adalah fungsi sel glia sebagai pensuplai nutrisi dan reservoar dari elektrolit seperti ion K, Ca dan Na. Ketidakseimbangan pada sel ini akan menyebabkan permasalahan pada sel saraf. Proses epileptogenik akan terjadi bila ada pelepasan muatan paroksiman karena mekanisme intrinsik dari membran neuron yang menjaga kestabilan ambang lepas muatan terganggu sehingga bisa terjadi depolarisasi secara terus menerus yang selanjutnya menyebabkan timbulnya letupan potensial aksi (paroksismal depolarisasi shif).
g.      Tumor atau neoplasma pada otak mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial sehingga suplai oksigen ke otak melali pembuluh darah pun terganggu. Oksigen yang diperlukan juga dalam metabolisme sel glia akan berkurang. Begitu juga halnya dengan infeksi yang terjadi pada otak seperti meningitis akan menggangu aliran darah pada pembuluh darah otak yang kaya akan nutrisi dan elektrolit. Kedua hal tersebutlah yang mengakibatkan metabolisme sel glia terganggu dan oleh karenanya kestabilan ambang lepas muatan pun akan terganggu sehingga terjadi epilepsi.
h.      Beberapa  penyelidikan  menunjukkan  peranan  acetilkolin  sebagai  zat  yang  merendahkan  potensial membran prosinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manisfestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun dipermukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak daripada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor cerebri atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, encephalitis, kontusio atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin.

5.        Komplikasi
a.       Retradasi mental
b.      IQ rendah
c.       Kerusakan otak akibat hipoksia jaringan otak
d.      Hal ini akan menyebabkan efek samping pada penurunan prestasi belajar terutama bagi penderita yang masih dalam masa belajar.

6.        Pemeriksaan Penunjang
a.       Pemeriksaan laboratorium
1)      Elektrolit         : tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
2)      Glukosa           : hipoglikemi, dapat menjadi presipitasi (pencetus kejang)
3)      Ureum atau kreatinin   : meningkat, dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksik yang berhubungan dengan pengobatan.
4)      Pungsi lumbal (PL)     : untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS, tanda-tanda infeksi, perdarahan (hemoragik subarachnoid, subdural) sebagai penyebab kejang tersebut.
b.      Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Rekaman EEG dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal, kortikal atau subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
c.       MRI          : melokalisasi lesi-lesi fokal.
d.      Pemeriksaan radiologis
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya
Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel, sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak. Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma dan hematoma
7.        Penatalaksanaan Medis
a.       Penatalaksanaan medis
1)      Farmakoterapi : Anti kovulsion untuk mengontrol kejang
2)      Pembedahan    : Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler
3)      Jenis obat yang sering digunakan
o   Phenobarbital (luminal) : Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
o   Primidone (mysolin) : Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.
o   Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus, ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.
b.      Carbamazine (tegretol).
o   Mempunyai khasiat psikotropik yang mungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itu sendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyai efek psikotropik.
o   Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkah laku.
o   Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
c.       Diazepam.
o   Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).
o   Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
d.      Nitrazepam (Inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
e.       Ethosuximide (zarontine)
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
f.        Na-valproat (dopakene)
o   Obat pilihan kedua pada petit mal
o   Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
o   Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
o   Efek samping mual, muntah, anorexia
g.      Acetazolamide (diamox).
o   Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.
o   Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

h.      ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.
i.        Penatalaksanaan keperawatan
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1)      Selama Kejang
o   Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
o   Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
o   Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
o   Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
o   Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
o   Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya epilepsi atau yang biasa disebut “aura”. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
o   Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2)      Setelah Kejang
o   Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
o   Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas tidak mengalami gangguan.
o   Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal.
o   Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang.
o   Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
o   Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yang hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.
o   Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
o   Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
o   Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsy.

8.        Pathway
9.         Diagnosa Keperawatan
a.       Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
b.      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
c.       Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
d.      Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
e.       Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
f.        Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
g.      Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
h.      Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak




1.        Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera.
Pantau status neurologis setiap 8 jam.
Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang.
Pasang penghalang tempat tidur pasien
Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter.
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang

Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang.

Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan.

Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol.

Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien.
Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak.


Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
o   Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar

 Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen

Melakukan suction sesuai indikasi
Berikan oksigen sesuai program terapi.
menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.




meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada

Mengeluarkan mukus yang berlebih,  menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.

Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
-           adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
-           menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
Kolaborasi dengan tim psikiater
Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya.
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular



Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien


Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri


Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.


Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien

Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).





















DAFTAR PUSTAKA


Dongoes M. E. et all, 1989, Nursing Care Plans, Guidelines for Planning Patient Care, Second Ed, F. A. Davis, Philadelpia.
Harsono (ED), 1996, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hudac. M. C. R and Gallo B. M, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (Terjemahan), Edisi VI, EGC, Jakarta Indonesia.
Kariasa Made, 1997, Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi, FIK-UI, Jakarta.
Luckman and Sorensen S, 1993, Medikal Surgical Nursing  Psychology Approach, Fourt Ed, Philadelpia London.
Price S. A and Wilson L. M, 1982, Pathofisiology, Clinical Concepts of Desease Process, Second Ed, St Louis, New York.



Post a Comment

Previous Post Next Post